Minggu, 20 Januari 2008

Edukasi Lewat Surat Pembaca Menulis

[Bisnis Indonesia] - Tigapuluh tahun sudah saya menjadi konsumen rubrik "Pembaca Menulis" koran dan majalah, baik sebagai pembaca maupun sebagai penulis surat. Tiga puluh tahun yang lalu saya baru berlangganan Kompas, Sinar Harapan, Femina dan Kartini. Sekarang tiap bulan saya sudah harus mengeluarkan sedikitnya Rp500.000.

Saya banyak belajar dari tulisan para pembaca. Beberapa di antaranya mengajak saya berpikir kritis dan bila perlu menuntut tanggapan dari saya. Menjadi penulis, sekalipun hanya untuk rubrik "Pembaca Menulis", tentu saja ada suka-dukanya. Bagi saya, untung saja lebih banyak sukanya.

Bisa Anda bayangkan, betapa bahagia kita melihat dua permohonan lewat "Pembaca Menulis" dikabulkan yang berwenang hanya dalam waktu beberapa minggu. Halte bus "Pos" (pos polisi) di Jl. Perintis Kemerdekaan dan pembuatan batu pemisah jalan (separator) di jalan raya Bekasi adalah jasa "Pembaca Menulis".

Tulisan saya, sekalipun ada yang bernada kritikan, semuanya lahir dari tujuan untuk berbagi pengetahuan dengan masyarakat yang masih membutuhkan edukasi dalam segala hal. Dalam mempersiapkan tulisan, saya selalu dibantu buku-buku, kamus, undang-undang, peraturan pemerintah, majalah ilmiah internasional, dan lain-lain.

Hal ini saya lakukan untuk meminimalkan kesalahan sekalipun hanya salah eja, apalagi kesalahan disebabkan pemberian informasi yang tidak tepat, tidak akurat dan tidak benar.

Saya akan tetap menulis untuk rubrik "Pembaca Menulis". Tidak perlu takut kriminalisasi. Bukankah pers kita memberi hak koreksi kepada setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain (Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers). (Lidwina M. Gomulja
Jl. Pulo Nangka Timur No.59 Jakarta 13260)

Kamis, 29 November 2007

Kriminalisasi Kini Menimpa Kolumnis : Sebelumnya, penulis surat pembaca digugat secara perdata.

[LBH Pers] - Kutipan pernyataan Joesoef Ishak oleh Bersihar Lubis di suatu kolom, berujung pada masalah hukum. Ia diseret ke pengadilan. Kasus ini menunjukkan bahwa sekarang bukan penulis surat pembaca saja yang harus berhati-hati dengan ancaman dilaporkan ke polisi, tetapi juga penulis kolom. Bersihar didakwa mencemarkan nama baik instansi Kejaksaan Agung.

Wartawan senior itu dilaporkan Pudin Saprudin, staf seksi intel Kejaksaan Negeri Kota Depok. Anggota korps ahdyaksa itu merasa terganggu kolom Bersihar berjudul “Kisah Interogator yang Dungu” yang dimuat Koran Tempo Maret silam. Perkara itu akhirnya masuk ke jalur hukum. Bersihar sudah menjalani persidangan di PN Depok. Ia dijerat melakukan kejahatan terhadap penguasa umum yang diatur dalam pasal 207 dan 316 j.o 310 Ayat (1) KUHP. Rabu (21/11) Bersihar menyampaikan pembelaannya.

Dalam tulisannya, mantan wartawan tersebut mengutip cerita yang diungkapkan Joesoef Ishak, penerbit Hasta Mitra, saat dirinya mendapat penghargaan atas keberaniannya menerbitkan karya pengarang Pramoedya Ananta Toer yang saat itu dilarang. Dia dipenjara lebih dari sepuluh tahun atas perbuatannya. Joesoef saat itu mengaku disiksa kedunguan interogator kejaksaan yang atasannya lebih tinggi kedunguannya. Itulah yang dikutip kembali Bersihar.

Setelah mengisahkan pengalaman Joesoef, kemudian Bersihar menyatakan ketidaksetujuannya atas pelarangan buku pelajaran oleh kejaksaan karena tidak menyebut kata Partai Komunis Indonesia (PKI) dibelakang ungkapan G-30-S (Gerakan 30 September 1965), sebuah isu yang sedang hangat saat itu.

Dia dengan tegas menyatakan itu bukan darinya, melainkan kata-kata Joesoef, yang sempat hadir disidang Bersihar sebagai saksi. “Itu hanya merupakan kritik karena pelarangan buku Pram waktu itu,” ujarnya. Soal kritik menurutnya tidak dipermasalahkan. Sederhana saja, sejarah juga memiliki kontroversi.

Petikan dua paragraf dari kolom yang dianggap mencemari nama baik:

Saat tampil berbicara pada "Hari Sastra Indonesia" di Paris pada Oktober 2004 lalu, Joesoef pun bertutur tentang jalannya interogasi tersebut. Mulanya, ia mengusulkan supaya Kejaksaan Agung menggelar sebuah simposium ahli untuk membicarakan secara obyektif karya Pram. Tapi ternyata ditolak. Alasannya, interogator lebih paham dari siapa pun bahwa Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa adalah karya sastra Marxis. Anehnya, ketika Joesoef diinterogasi, aparat kejaksaan meminta Joesoef menunjukkan baris-baris mana yang menunjukkan adanya teori Marxis dalam buku Pram. Sikap sok tahu yang menyedihkan itu pun terungkap.

Ketika Joesoef diminta meneken berita acara pemeriksaan, para interogator tersenyum. "Buku-buku Pram luar biasa. Apakah Bapak mempunyai eksemplar tersisa? Istri saya belum membacanya. Bisakah Bapak mengirimkan satu eksemplar ke rumah saya?" kata si interogator. "Pak Joesoef hendaknya maklum bahwa apa yang saya lakukan hanyalah melaksanakan perintah atasan," kata si interogator. "Saya telah disiksa oleh kedunguan interogator, dan interogator telah disiksa oleh atasan mereka yang lebih tinggi tingkat kedunguannya," kata Joesoef.

Bersihar juga tak yakin bila pegawai tersebut memiliki surat kuasa, padahal dia didakwa mencemarkan nama Kejaksaan Agung. Walaupun dilaporkan oleh staf intel Depok, Jaksa Agung Muda Intelegen Kejaksaan Agung mengaku tidak tahu. Ia juga belum menerima laporan tentang kasus tersebut. Saat coba dihubungi, sambungan telpon dengan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Thomson Siagian terputus. Sms yang dikirimkan juga tak berbalas.

Anggota Dewan Pers, Wina Armada Sukardi, menyatakan ada dua hal dalam pers, yakni fakta dan opini. Fakta menurutnya suci dan tidak dapat diubah-ubah. Sedangkan opini itu bebas sesuai Pasal 28 UUD 1945. “Ini masuk kolom opini. Tapi dia dilindungi juga oleh konstitusi. Jadi tidak bisa pendapat itu diadili” ujarnya.

Bila ada yang dirugikan, lanjutnya, sesuai Undang-Undang Pers pihak tersebut dipersilahkan membuat opini baru dan mengajukan pendapatnya. Kedua, pihak yang merasa dirugikan punya hak jawab. Ketiga, persoalannya dia hanya mengutip apa yang dikatakan orang lain mengenai cerita tersebut.

Selain itu, menurut Wina dalam media juga diatur soal pertanggungjawaban atas pemuatan kolom. “Penanggung jawab di media yang harus bertanggung jawab. Walau secara moral kolumnis bertanggung jawab,” tuturnya. Ia menyarankan Bersihar untuk melaporkan perkaranya ke Dewan Pers.

Rabu, 31 Oktober 2007

Dilaporkan ke Polisi, Penulis Surat Pembaca Akhirnya Menggugat

Perusahaan melaporkan penulis surat pembaca ke polisi dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan.


[Hukum Online] - Menulis surat pembaca adalah bentuk ungkapan perasaan seseorang atas pelayanan atau perlakuan yang ia rasakan. Tetapi di Indonesia, menulis surat pembaca bisa mengantarkan penulis berurusan dengan aparat hukum. Kini, ada satu lagi kasus terjadi yang mengingatkan warga perkara serupa terkait surat pembaca.

Kasus terakhir melibatkan Lim Ping Kiat dan PT Era Indonesia. “Saya cuma cerita apa yang saya alami dan menghimbau masyarakat agar hati-hati,” ujar Lim Ping Kiat dengan suara lirih. Kepada hukumonline, ia menceritakan surat pembaca yang dibuatnya.

Lim memutuskan untuk menggugat PT Era Indonesia ke pengadilan, setelah sebelumnya perusahaan itu melaporkan Lim ke polisi terkait surat pembaca yang ia tulis. Lim tak menyangka surat pembaca yang ia tulis akan berakibat panjang. Syahdan pada tahun 1999, Lim membeli satu unit rumah di Jakarta Barat dengan menggunakan jasa PT Era Graha sebagai agen properti. Era Graha adalah franchisee dari PT Era Indonesia. “Saya membeli karena ada nama Era” tutur Lim.

Enam tahun berselang, Lim akan menjual kembali rumahnya. Ia baru menemukan bahwa ternyata ada perbedaan antara alamat yang tertulis dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dengan yang tertulis dalam sertipikat tanahnya. Ia pun meminta orang “mengurusi” perubahan alamat tersebut, dengan biaya sekitar Rp 7 juta.

Sewaktu ia meminta pertanggungjawaban Era Graha dan Era Indonesia, Lim mengaku mendapat perlakuan tidak simpatik. Setelah enam bulan berusaha menghubungi, akhirnya baru ada pertemuan dengan pengembang. Dalam pertemuan tersebut, menurut Lim pihak Era bertindak arogan.

Lim pun menulis surat pembaca, yang dimuat di harian Kompas dan Suara Pembaruan. Intinya, menurut Lim, Era melakukan kesalahan data dalam menjual rumah, yang membuat konsumen keluar biaya perbaikan kesalahan. Era juga sudah mengakui ada ketidakcocokan alamat antara IMB dan sertipikat, dalam tanggapan atas surat pembacanya. Di situ, Era hanya menawarkan penggantian sebesar Rp1.248.000.

Perbuatan tidak menyenangkan

Sebulan berselang, Lim dilaporkan Era Indonesia ke polisi dengan tuduhan perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana diatur Pasal 335 KUH Pidana. Menurut Corporate Legal Era Indonesia Frans Asido Tobing, surat pembaca Lim berpengaruh bukan hanya pada Era Graha tapi pada kantor Era lainnya. Surat itu juga seolah-olah menunjukkan Era Graha tidak bertanggung jawab. “Waktu itu Era Graha mau bertanggung jawab sesuai biaya resmi, yakni sekitar satu juta,” ujarnya.

Surat pembaca juga hanya menyebut nama Era, sehingga mempengaruhi kredibilitas seluruh pengembang yang menggunakan nama Era di Indonesia. Padahal menurutnya, Lim hanya berurusan dengan PT Era Graha, suatu badan hukum terpisah dari Era Indonesia. Hubungan hukum keduanya ialah berupa franchise. “Kami (Era Indonesia- red) sudah kasih sistem dan itu tidak dijalankan kalau ada masalah bukan kita lagi,” ujarnya.

Frans menambahkan pihaknya cuma memfasilitasi masalah Lim dengan Eka Graha. “Sudah meminta kami untuk fasilitasi ternyata kami pula yang dipaksa menanggung,” tandas Frans. Ia juga menambahkan bahwa pihak Lim menyatakan ancaman yang pada intinya Era akan merugi kalau masalah kedua belah pihak disebarluaskan.

Kuasa hukum Lim, Deolipa Yumara, menjelaskan bahwa permasalahan awal kliennya dengan Era Graha, bermula dari ketidaksesuaian alamat rumah yang tertera di surat IMB dan sertifikat. Lim lantas mempersoalkan perbedaan itu secara terbuka. Rupanya, Era Graha gerah borok itu diungkap ke publik, karena itu Era Indonesia melaporkan Lim ke polisi. “Saat Pak Lim tiba-tiba dilaporkan ke polisi, timbul masalah baru seperti ketakutan, depresi, dan sebagainya” ujar Deolipa.

Dalam gugatannya, Lim mengaku mengalami kesusahan, stres, dan depresi karena harus bolak-balik memenuhi panggilan polisi akibat laporan Era Indonesia. Energi, pikiran dan keuangan Lim pun terkuras. Bahkan akibat sulit berkonsentrasi pada pekerjaan, Lim akhirnya diberhentikan dari jabatannya sebagai Direktur PT Trijaya Pratama Futures.

Dua puluh September lalu, Lim pun menggugat dengan berbekal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Surat tersebut menyatakan perbuatan yang disangkakan tidak cukup bukti atau tidak ada peristiwa pidana. Menurut Deolipa, laporan palsu yang dibuat Era Indonesia, dapat diklasifikasikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum. Dalam perkara yang sedang masuk proses mediasi ini, Lim meminta ganti rugi sejumlah Rp5.100.000.000.

Senin, 01 Oktober 2007

Penulis Surat Pembaca Didenda Rp 17 Miliar, Adilkah?

[Wikimu] - 'Kriminalisasi terhadap Penulis Surat Pembaca' demikian judul pengaduan Khoe Seng Seng dalam Suara Warga, Warta Kota edisi hari ini (1/9).

Mengapa tidak? "Saya adalah salah satu dari sejumlah orang yang menulis surat pembaca yang dikriminalkan di Mabes Polri oleh PT Duta Pertiwi, anak perusahaan Sinar Mas Group lantaran dituduh telah mencemarkan nama baik perusahaan tersebut, padahal apa yang saya jelaskan melalui surat pembaca tentang cacat produk perusahaan tersebut telah berdasarkan fakta-fakta yang ada pada saya".

Lebih lanjut konsumen yang beralamat (kios) di ITC Mangga Dua lt.II Blok B 42 ini menuturkan "perusahan tersebut menggugat saya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan gugatan pencemaran nama baik, sungguh tidak tanggung-tanggung perusahan terbuka ini menggugat saya sebesar Rp 17 Miliar, termasuk 18 rekan saya yang ikut melapor. Mereka digugat masing-masing Rp 11 miliar - Rp 17 Miliar"

Menutupi tulisan estafet ini menarik untuk mengangkat kembali tiga himbauan penting yang diajukan Khoe Seng Seng:

Pertama, sebagai sebuah perusahan terbuka, PT Duta Pertiwi hendaknya tidak menekan (mengintimidasi) konsumen. Justru sebaliknya merasa bangga dan berterima kasih karena konsumen telah menggunakan produk-produknya. Dan kritikan yang dilayangkan konsumen hendaknya diterima dengan lapang dada sebagai masukan yang berarti demi peningkatan kualitas produk selanjutnya.

Kedua, instansi-instansi pemerintah yang telah dan berhubungan degan perusahaan terbuka (apa pun namanya) untuk bertindak seteliti-telitinya sebelum melakukan kerja sama atau apapun hubungan yang akan dijalankan agar jangan ada korban-korban baru (konsumen yang dikriminalkan)

Ketiga, penegakkan hukum seperti yang sering diiklankan Pengurus Nasional Perhimpunan Jurnalis Indonesia bersama Masyarakat Profesional Madani yang ditunggu-tunggu, apakah mampu melindungi konsumen dengan memberikan keadilan.

Keempat, membayar denda Rp. 17 Miliar, adilkah? Apakah keadilan akan saya dapatkan?

Minggu, 20 Mei 2007

Gara-gara Menulis Surat Pembaca Dilaporkan ke Polisi

[Suara Pembaruan] - Gara-gara menulis surat pembaca di tiga media massa yakni Suara Pembaruan, Kompas,dan Bisnis Indonesia, Lim Ping Kiat selaku konsumen, dilaporkan PT ERA Indonesia ke Polres Jakarta Barat atas tuduhan pasal 335 KUHP yakni tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan. Namun karena dianggap tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, Polres Jakarta Barat menyata- kan penyidikan dihentikan demi hukum.

Laporan PT Era Indonesia ke polisi bernomor Pol: 1146/k/IX/2005/Res atas nama pelapor Frans Asido Tobing terhadap Lim Ping Kiat, dihentikan penyidikannya (SP3) oleh Polres Jakarta Barat berdasarkan surat ketetapan No. Pol: SK/01/ II/2007/Res-JB. Lim merasa dirugikan saat membeli rumah di Taman Ratu melalui agen jasa penjualan rumah ERA Graha Asri pada 1999 karena alamat yang tertera di IMB (Izin Mendirikan Bagunan) dengan sertifikat tanah tidak sama. Lim baru sadar rumah itu bermasalah ketika hendak menjual rumah tersebut pada 2005.

Lim menjelaskan, saat itu dia langsung menghubungi ERA Graha namun tidak mendapati tanggapan yang baik. Kemudian, menghubungi kantor pusat ERA Indonesia, juga tidak mendapat tanggapan bahkan sebaliknya menuduhnya lalai dengan tidak mengecek surat-surat sebelum membeli. "Saya sangat kecewa dan akhirnya mengirimkan surat pembaca ke tiga media massa ini dan juga melaporkan permasalahan tersebut ke Direktur Perlindungan Konsumen Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Departemen Perdagangan RI", katanya.

Surat tanggapan bernomor 275/PDN4.4/6/2006 yang ditandatanggani Srie Agustina selaku Direktur
Perlindungan Konsumen terungkap bahwa sesuai dengan UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen antara lain dinyatakan bahwa pelaku usaha harus beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya dan sudah menjadi hak konsumen untuk meminta pertanggungjawaban ke pelaku usaha serta sudah menjadi hak dasar konsumen untuk memperoleh pelayanan dan penjelasan yang baik dan memuaskan dari pelaku usaha.

Surat Tanggapan

Dalam surat tanggapan Direktur Perlindungan Konsumen tersebut, jelas Lim, munculnya kerugian konsumen dalam hal ini tidak hanya timbul karena faktor kelalaian konsumen (kurang teliti sebelum membeli), tetapi juga karena andil besar ketidaktelitian pelaku usaha.

"Saya hanya meminta ganti rugi biaya untuk mengurus ulang surat IMB sebesar Rp 3,5 juta", tutur Lim yang terpaksa harus menggeluarkan biaya tambahan sebesar Rp 7 juta untuk pengurusan ulang surat IMB.

Atas permintaan Lim tersebut, pihak ERA Indonesia telah menanggapi melalui surat pembaca di tiga media yakni Suara Pembaruan, Kompas,dan Bisnis Indonesia atas nama Frans Asido Tobing dari Corporate Legal ERA Indonesia yang mengakui memang terjadi ketidakcocokan nomor alamat rumah antara dokumen sertifikat tanah dengan IMB. "Pada saat transaksi, semua yang terlibat merasa tidak ada masalah", kata Frans dalam pernyataannya di tiga surat pembaca itu.

Meskipun demikian untuk kepentingan klien, ERA Indonesia bersedia menanggung biaya yang wajar yakni biaya pengurusan IMB baru sesuai dengan klasifikasi wisma besar (tarif termahal) dengan luas 208 m2 sebesar Rp 1.248.000,- sesuai dengan tarif yang berlaku di Dinas Tata Kota Jakarta Barat.

Namun Lim yang merasa tidak puas atas sikap tidak profesionalnya ERA dalam menanggapi keluhannya dan perbuatan pelaporan ERA ke polisi terhadap dirinya. Kini Lim balik melaporkan Direktur Utama ERA, Darmadi Darmawangsa ke Polda Metro Jaya dengan surat laporan tertanggal 15 Mei 2007 nomor 2046/K/V/2007/SPK UNIT III atas tuduhan pasal 317 yakni perbuatan fitnah, pasal 318 yakni laporan tak mendasar dan pasal 335 yakni perbuatan tidak menyenangkan dengan tuntutan ganti rugi moril dan materil.

"Era tidak ada etika sama sekali dan tidak profesional. Klien kami dirugikan dan mengeluh dengan
menulis surat pembaca justru ditanggapi dengan pelaporan ke polisi sebagai tersangka. Hal ini tidak bisa didiamkan karena menyangkut hak konsumen," ujar pengacara Lim, Deolipa Yumara SH, S.psi yang menambahkan bahwa ternyata laporan ERA ke polisi tidak mendasar maka telah dihentikan penyidikan oleh polisi.

Menurut Deolipa, pihaknya juga berencana mem-bawa permasalahan ini ke Dewan Pers untuk mempertanyakan perihal perlindungan hukum terhadap penulis surat pembaca. "Ini preseden buruk buat konsumen yang menulis keluhannya di surat pembaca. Untuk itu kami hanya ingin mencari kebenaran dan keadilan," ujarnya. [R-8]

Sabtu, 20 Januari 2007

Menulis Surat Pembaca, Kok Dituntut

[Majalah Trust] - Konsumen yang menulis komplain lewat surat pembaca di media cetak biasanya ditanggapi dengan baik oleh produsen dengan membalas surat yang sama berikut pernyataan mohon maaf dan terima kasih. Namun demikian, akhir-akhir ini ada kecenderungan produsen yang tidak puas, juga melakukan gugatan ke pengadilan dengan berbagai argumentasi.

Tindakan kriminalisasi produsen terhadap konsumen yang menulis surat pembaca sangat disayangkan. Seharusnya produsen menggunakan mekanisme Hak Jawab dan atau Hak Koreksi—sesuai dengan UU Pokok Pers. Sepanjang produsen mempunyai data dan fakta yang cukup untuk membuktikan bahwa pemberitaan tersebut tidak benar, maka ia akan mampu memulihkan nama baiknya.

Bagi produsen, menggunakan mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi merupakan hal yang fair, efektif, profesional, dan patut dihargai. Komunitas pembaca juga akan memberikan penghargaan yang tinggi atas kejujuran dan kesatriaan dalam menyelesaikan permasalahan secara fair dan profesional. Sehingga—meskipun punya uang—sebenarnya produsen tak perlu menghabiskan energi, waktu, dan biaya yang tidak perlu, dengan mengajukan penyelesaian permasalahan yang muncul akibat penulisan surat pembaca ke tempat lain.

Dalam perspektif marketing dan komunikasi bisnis, tindakan melakukan kriminalisasi terhadap penulis surat pembaca justru bisa kontra produktif. Selain menimbulkan kebencian dari para konsumen yang juga dirugikan, juga bisa menimbulkan bencana korporasi bila para penulis surat pembaca lainnya turut bersimpati merasakan “penganiayaan” yang dilakukan produsen. Bukan tak mungkin, media cetak mem-blow up persoalan ini, dan memancing penulis surat pembaca lainnya untuk melakukan solidaritas.

Rasanya, tidak mungkin penulis surat pembaca bisa menghancurkan produsen. Mereka menulis, umumnya karena merasa dizalimi atau dirugikan, baik secara material maupun non material. Paling maksimal tuntutannya adalah ganti rugi—garansi yang sebenarnya wajar diberikan oleh produsen kepada konsumennya.

Oleh sebab itu, para penulis surat pembaca pun tidak perlu kecil hati, sehingga ragu-ragu untuk menulis surat pembaca hanya karena takut digugat atau diadukan ke pengadilan. Sepanjang menulis berdasarkan realitas dan cita-cita untuk memperbaiki keadaan yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas, tentunya tidak masalah. Bahkan, ini juga berarti Anda berhati mulia karena turut melakukan pengawasan, kritik, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum—yang juga merupakan amanat pers.